Kamis, 02 Maret 2017

LITERASI SMPN 26 BEKASI


MEMBANGUN TRADISI MEMBACA
DI LINGKUNGAN SEKOLAH MELALUI PROGRAM LITERASI
DI SMPN 26 BEKASI

MAKALAH




Oleh :

BAHTIAR

GURU IPA
SMPN 26 KOTA BEKASI



SMP NEGERI 26 KOTA BEKASI
TAHUN 2016




MEMBANGUN TRADISI MEMBACA
DI LINGKUNGAN SEKOLAH MELALUI PROGRAM LITERASI
DI SMPN 26 BEKASI

Makna membaca, dalam arti sempit dan yang tercantum dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah melihat tulisan dan mengerti atau dapat melisankan apa yang tertulis itu. Dalam arti luas, ‘tulisan’ bisa diartikan sebagai sesuatu yang abstrak, sehingga orang akan berkata bahwa dia sedang membaca jalan kehidupan, membaca pikiran, membaca lukisan, membaca cuaca, dan lain sebagainya. Dalam makalah ini, karena membaca dikaitkan dengan institusi sekolah yang banyak berhubungan dengan pembelajaran lewat buku, maka makna membaca yang dimaksud lebih ditekankan pada membaca tulisan.

SMP Negeri 26 Kota Bekasi adalah sekolah yang terletak di wilayah administratif Kota Bekasi yang merupakan sekolah yang diunggulkan diwilayah mustikajaya. Keberadaan di masyarakat dijadikan sebagai sekolah pilihan pertama. Hal ini terbukti dari banyaknya calon pendaftar yang tiap tahunnya ingin masuk sebagai siswa. Salah satu masalah yang dihadapi di sekolah ini adalah masih rendahnya minat baca siswa. Dengan digulirkannya program literasi, disambut baik oleh sekolah dengan menyusun program dan keorganisasian.  

Rendahnya minat baca pelajar pada saat ini, tentu tidak hanya sebatas masalah kuantitas dan kualitas pada buku saja, melainkan juga pada hal hal yang saling berhubungan satu sama lain. Seperti, mental pada anak yang minim dan Lingkungan keluarga/masyarakat yang tidak mendukung. Orang-orang di kota mungkin kesulitan membangkitkan minat baca para pelajarnya karena serbuan media informasi dan hiburan elektronik. Sementara di pelosok desa, siswa lebih suka keluyuran ketimbang membaca. Itu penyebab lingkungan/tradisi di sana membaca tidaklah tercipta. Mereka lebih suka ngerumpi atau menonton acara televisi daripada membaca.

Selain itu masih banyak lagi masalah yang melatarbelakangi minat membaca dikalangan pelajar. Seperti sistem pembelajaran yang belum memuat keharusan anak-anak, siswa, dan mahasiswa untuk membaca buku, mencari informasi atau pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan. terkadang, pemerintah kurang tepat dalam menentukan kurikulum yang harus dilaksanakan di Indonesia ini. Dengan banyak waktu yang telah dihabiskan di sekolah untuk belajar, maka anak berfikir bahwa waktu yang dihabiskan untuk belajar dan membaca di sekolah sudah cukup dan mereka tidak mempelajari kembali apa yang telah diajarkan saat di rumah. Namum mereka akan membaca atau mengulang materi dari guru jika esok harinya akan ada ulangan ataupun ada PR saja.

Masalah yang melatarbelakangi berikutnya karena banyaknya jenis hiburan, permainan dan tayangan TV yang mengalihkan perhatian pelajar dari buku. Selain itu, browsing di internet terkadang lebih asyik bagi para pelajar ketimbang harus membaca buku pelajaran yang terlalu membosankan. Pelajar rela menghabiskan waktu dengan HP, laptop, ataupun gadget mereka untuk membuka internet seperti bermain facebook, twitter, youtube, ataupun media lain dari pada membaca buku ataupun mencari hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupan mereka.


BUDAYA LISAN DAN BUDAYA BACA-TULIS

Pada hakikatnya, peradaban (civilization) bisa disebut sebagai kebudayaan (culture) modern atau kebudayaan yang sudah lebih berkembang, artinya suatu kelompok manusia yang atau bangsa yang sudah mampu hidup dengan tidak tergantung pada alam (Subadio, 1993). Tingkat perkembangan tersebut juga dinilai dari tingkat pengenalan huruf serta kemampuan membaca dan menulis yang dikuasai. Dengan demikian kemampuan baca-tulis dianggap penting karena kegiatan tersebut menunjukkan bahwa manusia tersebut mampu berfikir secara abstrak. Selain dapat ‘membayangkan’ salju lewat penceritaan, lisan atau tertulis, dia juga dapat ‘membayangkan’ keadaan yang belum terjadi. Dengan demikian ia mampu berfikir dan ‘membayangkan’ semua keadaan yang menyangkut kehidupannya sehingga ia akan tergerak untuk meningkatkan diri.
Dari tulisan seorang ilmuwan, (Makarim, 2002) kemampuan meringkas mempertajam daya analisis, yaitu bekal teknis utama untuk memecahkan masalah dalam kehidupan dan karir seseorang. Membaca adalah menganalisa hal yang penting, memberi tingkatan pada yang kurang penting dan membuang hal yang dianggap tidak penting dalam tulisan. Dengan kemampuan ini, seseorang dapat memberikan prioritas dalam hidupnya. Hipotesa tersebut diperkuat oleh pernyataan Joni Ariadinata (Kedaulatan Rakyat, 2002) bahwa daya fikir untuk menyerap bacaan dan kemampuan merangkaikan logika dalam tulisan, merupakan salah satu indikator kuatnya sumber daya manusia dalam sebuah negara.   

TRADISI MEMBACA DI SEKOLAH

Dalam upaya menumbuhkan budi pekerti siswa, pemerintah melalui kemdikbud meluncurkan sebuah gerakan yang disebut Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan ini bertujuan agar siswa memiliki budaya membaca dan menulis sehingga tercipta pembalajaran sepanjang hayat. 
Seperti jelasnya Gerakan Literasi Sekolah ini, berikut saya kutip dari Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah. Mari kita baca sebagai bahan pembelajaran bagi para warga sekolah agar gerakan ini bisa berjalan dengan dukungan dari semua warga sekolah (guru, peserta didik, wali murid dan masyarakat).
Praktik pendidikan perlu menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran agar semua warganya tumbuh sebagai pembelajar sepanjang hayat. Untuk mendukungnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). 

GLS memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Salah satu kegiatan di dalam gerakan tersebut adalah kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik.

Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan. Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi komponen penting dalam GLS.

Tindakan lainnya sehubungan dengan tradisi membaca di sekolah, Gerakan-gerakan yang ditujukan untuk meningkatkan minat baca sudah mulai diterapkan. DUGEM (Dua genep Maca) adalah sebuah pelaksaanaan dari program literasi sekolah yang sudah mulai memberikan efek positip terhadap minat baca siswa di sekolah. Sebuah kegiatan yang beawal dari pemaksaan ini, dharapkan selanjutnya menjadi budaya positif dikalangan siswa khususnya siswa SMP 26.

KENDALA DAN GAYA HIDUP REMAJA

Masyarakat Indonesia, yang masih belum lama mengenal budaya membaca atau budaya baca-tulis atau tradisi literasi, yaitu sekitar abad ke-8 dengan datangnya kebudayaan Hindu, Budha, kemudian Islam, serta pada pertengahan abad ke-19 saat pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah. Tetapi belum lama masyarakat mengenal baca-tulis, pada awal abad 20-an, teknologi informasi menerjang masuk. Radio, televisi, internet dan system audio visual lainnya jauh lebih menarik dibandingkan dengan buku tulisan dalam buku. Ditambah pula oleh belum diterimanya konsep pendidikan di dalam masyarakat. Perkembangan peradaban umumnya melalui 3 tahapan kebudayaan, yaitu, budaya lisan, budaya baca-tulis dan audio-visual. Di Indonesia, tahapan kedua belum terjalani, tetapi langsung melompat ke budaya ketiga, sehingga perkembangan buadayanya menjadi tidak sempurna. Tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Malaysia. Pengamat social di sana menyatakan bahwa pelajar yang memiliki uang lebih, atau bahkan memperoleh beasiswa, lebih senang membeli telepon selular daripada buku untuk meningkatkan prestasi sekolahnya. Sementara itu, dalam hubungannya dengan sekolah, system pengajaran yang diterapkan belum pernah bisa menjadikan kegiatan baca-tulis sebagai kebiasaan atau tradisi dalam kehidupan.
Berikut adalah kendala yang menghambat berkembangnya budaya baca pada anak sekolah di tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas :

  1. Metode pengajaran.
Berdasarkan pengamatan, proses belajar-mengajar masih dilakukan secara lisan: guru menjelaskan dan murid mendengarkan. Mereka juga diajarkan dan menjadi terbiasa bahwa jika murid menjawab dengan jawaban yang berbeda dari yang diajarkan oleh guru, jawaban tersebut salah. Selain itu, masalah dalam ujian yang diberikan tidak jauh dengan apa yang disampaikan oleh guru di kelas Dengan demikian, mereka akan berpikir untuk apa membaca buku jika tidak ada manfaatnya untuk memperoleh nilai A?
Apresiasi sastra sangat rendah. Menurut survei pribadi Taufik Ismail tahun 1997 yang dilakukan di 13 negara (Jagat Bahasa Nasional, 2003), kurikulum mewajibkan murid membaca 32 judul buku sastra, bahkan jauh sebelumnya, di SMU Jepang tahun 1969-1972, wajib membaca 15 judul buku sastra dan karya sastra asing terjemahan.
Di Jepang, di sekolah-sekolah menengah dicanangkan program “Membaca wajib pagi 10 menit” sebelum memulai pelajaran. Pada awalnya, pelajar-pelajar itu membencinya, tetapi ternyata setelah 3 tahun program berjalan, terdapat peningkatan peminjaman buku perpustakaan sekolah sebesar 10 kali lipat.

  1. Metode pemberian pujian dan hukuman.
Pada saat murid berbuat baik, menaati peraturan dan displin, pujian dari guru jarang dilontarkan, tetapi ketika murid membuat kesalahan atau melanggar peraturan, hukuman akan segera dirasakan. Hukuman tersebut umumnya dikenakan secara fisik, misalnya menyapu ruangan kelas, disetrap berdiri di depan kelas, atau menulis kalimat satu halaman penuh. Jenis hukuman tersebut jelas tidak bermanfaat.

3.      Perpustakaan yang kurang memadai

Kondisi yang tidak terelakkan, seperti kurangnya dana, tidak adanya tenaga penegelola khusus, kurangnya kerjasama dengan pihak luar, menjadikan kualitas dan kuantitas jasa yang diberikan oleh perpustakaan sekolah sangat rendah. Jumlah, ragam dan mutu koleksi miskin, dan pertambahan koleksi per tahunnya sangat rendah. Jenis layanan yang diberikan hanya sirkulasi dengan jam buka terbatas. Hal ini disebabkan oleh tenaga pengelola yang biasanya dirangkap oleh tenaga tata usaha atau guru. Masalah tersebut tidak hanya terjadi di wilayah DKI Jakarta, tetapi seluruh Indonesia (Darmono, 2001).

4. Gaya hidup remaja
Gaya hidup remaja saat ini menganut gaya hidup bebas. Umumnya mereka mulai mencoba pada saat duduk di sekolah menengah pertama. Mulai dari yang hura-hura seperti mengadakan ‘pensi’ (pekan seni) dengna mengundang grup band terkenal, jalan-jalan ke mal, kafe, sampai mencoba rokok, obat terlarang, merupakan hal yang lazim ditemui pada remaja. Memang tidak semua remaja seperti itu, tetapi pada umumnya, pulang sekolah, mereka selalu berkumpul bersama geng masing-masing. Percakapan yang dilontarkan adalah tema-tema ringan seputar kehidupan sehari-hari. Gaya hidup di mana serba instan, enak, dan semua tersedia, selain tercermin dalam majalah-majalah remaja, fenomena tersebut terlihat jelas di lingkungan sekolah, di keramaian, baik di kota maupun di desa. Budaya lisan sangat mencolok.

MEMBANGUN TRADISI MEMBACA

Munculnya minat baca seseorang dipicu oleh berbagai factor, sesuai karakter dan kondisi yang bersangkutan. Secara umum, dapat disebutkan di sini bahwa factor-faktor tersebut adalah: rasa ingin tahu yang tinggi atas fakta, teori, prinsip, pengetahuan, dan informasi. Faktor kedua adalah keadaan lingkungan fisik yang memadai, misalnya adanya bahan bacaan yang menarik, berkualitas dan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka, selain itu factor lingkungan social juga memiliki peran yang besar, misalnya linkunganyang kondusif, seperti keluarga yang sejahtera, tenang dan memberi teladan yang baik, dapat memicu seseorang untuk memanfaatkan waktunya bersama buku. Berikutnya, factor keingintahuan akan informasi dan prinsip bahwa membaca merupakan kebutuhan rohani, merupakan pemicu yang tidak kalah penting (Sutarno, 2003).
Meskipun sekolah merupakan tempat mencari ilmu, baik melalui lisan maupun tulisan, belum tentu murid mencarinya di dalam buku, atau melakukan kegiatan membaca untuk menimba ilmu. Kebiasaan ‘guru menjelaskan – murid mendengar’ sudah lama menjadi system dalam proses belajar-mengajar di Indonesia. Tradisi tersebut harus dihilangkan dan tradisi baca-tulis yang dikutip dari Rahardjo perlu dikembangkan. Tradisi yang dimaksud adalah :

  1. Menciptakan suasana
a.       Membuat komitmen antara guru dan pustakawan. Kedua pendidik ini sangat penting dalam memberi teladan dan menumbuhkan rasa cinta terhadap buku. Komitmen sebaiknya juga membantu dan mengajarkan kepada murid bagaimana memahami bacaan.
b.      Membuat program khusus yang terintegrasi. Murid akan berfikir bahwa kegiatan baca-tulis penting jika sekolah membuatnya menjadi program khusus. Program yang dimaksud adalah :
1)      mendirikan museum sekolah
2)      membuat surat kabar/majalah/majalah dinding/kliping
3)      membentuk klub pecinta buku
4)      membuka toko buku/koperasi sekolah
5)      memberikan ceramah/bimbingan pemakai secara rutin, dsb.
c.       Kunjungan pengarang/illustrator : diskusi, bedah buku, pelajaran teknik menulis, dsb.
  1. Membuat perpustakaan sekolah
a.       Koleksi. Koleksi di perpustakaan sekolah sebaiknya sesuai dengan jenis dan kebutuhan sekolah, tertata rapi, terawat dan mudah ditemukan.
b.      Pustakawan. Pustakawan profesional sebaiknya menjaga komitmen dalam pekerjaannya, yaitu memberi teladan kepada anak didik, mengembangkan pengetahuan mengenai perpustakaan dan mempelajari metode pengajaran, kurikulum sekolah, sekaligus mempelajari perilaku manusia.
c.       Sarana dan program perpustakaan. Perabotan yang nyaman,perlengkapan memadai, jam buka dan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa akan menciptakan suasana yang menyenangkan.
  1. Membaca bersama dan berbagi pengalaman
Kegiatan membaca yang kita kenal umumnya adalah membaca dengan diam. Bagi sebagian orang, kegiatan ini terasa berat dan membosankan. Agar menarik, kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara lain, seperti :
    1. membaca bergiliran
    2. mengadakan acara jam bercerita
    3. mengadakan diskusi buku mengenai ceritanya, pengarang, ilustrasi, pengalaman individu yang serupa, dll.
  1. Melakukan aktivitas
Guru atau pustakawan dapat mengembangkan kegiatan membaca melalui berbagai aktivitas, seperti :
    1. membuat proyek bacaan (mendata buku seperti pekerjaan yang dilakukan pustakawan)
    2. membaca secara kreatif dengan menggambar, menjahit, membuat pembatas buku, boneka, topeng, kolase, bendera, film, jaket buku, kartu ucapan, penahan buku, brosur, iklan, kartun, puisi, lagu, pantomim, drama, teka-teki, permainan, dsb.
    3. Membuat karangan, membuat komentar atau ringkasan, diari, dll.
    4. Belajar melalui gambar/barang, kunjungan, kliping, musik, teka-teki, atau mengintegrasikan pelajaran-pelajaran.
    5. Mengadakan pertunjukan drama, panggung boneka, dll.
    6. Mengadakan kunjungan ke toko buku, penerbitan, percetakan, perpustakaan lain, dsb.
    7. Mengkampanyekan buku-buku terbaik.
    8. Mengadakan tukar menukar buku dengan perpustakaan, atau sekolah lain.
    9. Mengadakan bazaar, pameran, atau lomba yang berkaitan dengan buku.

Dengan membangun suasana yang menyenangkan dan melakukan aktivitas bersama dalam kegiatan baca-tulis, siswa akan tertarik dengan sendirinya dan tanpa paksaan mereka akan mengubah gaya hidup masing-masing menjadi gaya hidup yang berakar pada tradisi baca-tulis.

PENUTUP

Jika masyarakat belum memahami kepentingan kemahiran membaca dan menulis bagi kehidupan setiap individu, semua gerakan meningkatkan budaya baca-tulis akan sia-sia, dan hanya muncul sebagai sebuah utopia. Oleh karena itu, langkah pertama yang sangat penting dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran pentingnya kegiatan baca-tulis, setelah itu, upaya berikutnya akan jauh lebih mudah.
Dengan adanya gerakan literasi sekolah, sudah saatnya sekolah memberikan perhatian khusus terhadap gerakan ini, agar budaya tersebut menjadi benar-benar terlaksana.


DAFTAR BACAAN

Ariadinata, Joni. 2002. “Yogyakarta dan barometer cerita pendek Indonesia”, dalam
Harian Kedaulatan Rakyat, edisi Minggu, 14 Juli.
“Budaya baca.” Kompas, 6 Juni 2000
Bunanta, Murti. 2004. Buku, mendongeng dan minat membaca. Jakarta: Pustaka Tangga.
Darmono. 2000.
Harras, Kholid A. 2003. Membaca dan tradisi pendidikan kita. Bandung: Unit Pers
Mahasiswa, Isola Pos Online.
Kleden-Probonegoro, Ninuk. 1998. “Pengalihan wacana: lisan ke tulisan dan teks.”
Dalam Metodologi kajian tradisi lisan. Editor, Pudentia MPSS. Hal. 103-138.

Makarim, Nono Anwar. 2002. Yang penting dari yang sepele. Makalah ini dibawakan
pada acara penganugerahan pemenang Lomba Meringkas Buku, Yayasan Aksara
(tidak dipublikasikan)
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional dan Koperasi Jurnalis Independen. 2003.
Jagat bahasa nasional: pandangan tokoh tentang bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan KOJI.
Rahardjo, Arlinah Imam. 19?. Mengembangkan kegemaran membaca melalui promosi
            perpustakaan. Layanan Informasi UK Petra.
“Sekitar 80% sekolah tak punya perpustakaan: berpengaruh negatif pada minat baca.” Dalam Media Indonesia, 31 Agustus 2000.
Soebadio, Haryati. 1993. “Masalah pengembangan budaya baca-tulis di Indonesia”.
Dalam Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia, Vol. 15, Nomor 2, p. 3-26.
Sutarno, NS. 2003. Perpustakaan dan masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar