MEMBANGUN TRADISI MEMBACA
DI LINGKUNGAN SEKOLAH MELALUI
PROGRAM LITERASI
DI SMPN 26 BEKASI
MAKALAH
Oleh :
BAHTIAR
GURU IPA
SMPN 26 KOTA BEKASI
SMP NEGERI 26 KOTA BEKASI
TAHUN 2016
MEMBANGUN TRADISI MEMBACA
DI LINGKUNGAN SEKOLAH MELALUI
PROGRAM LITERASI
DI SMPN 26 BEKASI
Makna membaca, dalam arti
sempit dan yang tercantum dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
melihat tulisan dan mengerti atau dapat melisankan apa yang tertulis itu. Dalam
arti luas, ‘tulisan’ bisa diartikan sebagai sesuatu yang abstrak, sehingga
orang akan berkata bahwa dia sedang membaca jalan kehidupan, membaca pikiran,
membaca lukisan, membaca cuaca, dan lain sebagainya. Dalam makalah ini, karena
membaca dikaitkan dengan institusi sekolah yang banyak berhubungan dengan
pembelajaran lewat buku, maka makna membaca yang dimaksud lebih ditekankan pada
membaca tulisan.
SMP Negeri 26 Kota Bekasi adalah sekolah yang
terletak di wilayah administratif Kota Bekasi yang merupakan sekolah yang
diunggulkan diwilayah mustikajaya. Keberadaan di masyarakat dijadikan sebagai
sekolah pilihan pertama. Hal ini terbukti dari banyaknya calon pendaftar yang
tiap tahunnya ingin masuk sebagai siswa. Salah satu masalah yang dihadapi di
sekolah ini adalah masih rendahnya minat baca siswa. Dengan digulirkannya
program literasi, disambut baik oleh sekolah dengan menyusun program dan
keorganisasian.
Rendahnya minat baca pelajar pada saat ini, tentu tidak hanya sebatas
masalah kuantitas dan kualitas pada buku saja, melainkan juga pada hal
hal yang saling berhubungan satu sama lain. Seperti, mental pada anak
yang minim dan Lingkungan keluarga/masyarakat yang tidak mendukung.
Orang-orang di kota mungkin kesulitan membangkitkan minat baca para
pelajarnya karena serbuan media informasi dan hiburan elektronik.
Sementara di pelosok desa, siswa lebih suka keluyuran ketimbang membaca.
Itu penyebab lingkungan/tradisi di sana membaca tidaklah tercipta.
Mereka lebih suka ngerumpi atau menonton acara televisi daripada
membaca.
Selain itu masih banyak lagi masalah yang melatarbelakangi minat
membaca dikalangan pelajar. Seperti sistem pembelajaran yang belum
memuat keharusan anak-anak, siswa, dan mahasiswa untuk membaca buku,
mencari informasi atau pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan.
terkadang, pemerintah kurang tepat dalam menentukan kurikulum yang harus
dilaksanakan di Indonesia ini. Dengan banyak waktu yang telah
dihabiskan di sekolah untuk belajar, maka anak berfikir bahwa waktu yang
dihabiskan untuk belajar dan membaca di sekolah sudah cukup dan mereka
tidak mempelajari kembali apa yang telah diajarkan saat di rumah. Namum
mereka akan membaca atau mengulang materi dari guru jika esok harinya
akan ada ulangan ataupun ada PR saja.
Masalah yang melatarbelakangi berikutnya karena banyaknya jenis
hiburan, permainan dan tayangan TV yang mengalihkan perhatian pelajar
dari buku. Selain itu, browsing di internet terkadang lebih asyik bagi
para pelajar ketimbang harus membaca buku pelajaran yang terlalu
membosankan. Pelajar rela menghabiskan waktu dengan HP, laptop, ataupun
gadget mereka untuk membuka internet seperti bermain facebook, twitter,
youtube, ataupun media lain dari pada membaca buku ataupun mencari
hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupan mereka.
BUDAYA LISAN DAN BUDAYA BACA-TULIS
Pada hakikatnya, peradaban (civilization)
bisa disebut sebagai kebudayaan (culture) modern atau kebudayaan yang
sudah lebih berkembang, artinya suatu kelompok manusia yang atau bangsa yang
sudah mampu hidup dengan tidak tergantung pada alam (Subadio, 1993). Tingkat
perkembangan tersebut juga dinilai dari tingkat pengenalan huruf serta
kemampuan membaca dan menulis yang dikuasai. Dengan demikian kemampuan
baca-tulis dianggap penting karena kegiatan tersebut menunjukkan bahwa manusia
tersebut mampu berfikir secara abstrak. Selain dapat ‘membayangkan’ salju lewat
penceritaan, lisan atau tertulis, dia juga dapat ‘membayangkan’ keadaan yang
belum terjadi. Dengan demikian ia mampu berfikir dan ‘membayangkan’ semua
keadaan yang menyangkut kehidupannya sehingga ia akan tergerak untuk
meningkatkan diri.
Dari tulisan seorang ilmuwan,
(Makarim, 2002) kemampuan meringkas mempertajam daya analisis, yaitu bekal
teknis utama untuk memecahkan masalah dalam kehidupan dan karir seseorang.
Membaca adalah menganalisa hal yang penting, memberi tingkatan pada yang kurang
penting dan membuang hal yang dianggap tidak penting dalam tulisan. Dengan
kemampuan ini, seseorang dapat memberikan prioritas dalam hidupnya. Hipotesa
tersebut diperkuat oleh pernyataan Joni Ariadinata (Kedaulatan Rakyat, 2002)
bahwa daya fikir untuk menyerap bacaan dan kemampuan merangkaikan logika dalam
tulisan, merupakan salah satu indikator kuatnya sumber daya manusia dalam
sebuah negara.
TRADISI MEMBACA DI SEKOLAH
Dalam upaya menumbuhkan budi pekerti
siswa, pemerintah melalui kemdikbud meluncurkan sebuah gerakan yang
disebut Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan ini bertujuan agar siswa
memiliki budaya membaca dan menulis sehingga tercipta pembalajaran
sepanjang hayat.
Seperti jelasnya Gerakan Literasi Sekolah ini, berikut saya kutip dari
Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah. Mari kita baca sebagai bahan
pembelajaran bagi para warga sekolah agar gerakan ini bisa berjalan
dengan dukungan dari semua warga sekolah (guru, peserta didik, wali
murid dan masyarakat).
Praktik pendidikan perlu menjadikan sekolah sebagai organisasi
pembelajaran agar semua warganya tumbuh sebagai pembelajar sepanjang
hayat. Untuk mendukungnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
GLS memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Salah satu kegiatan di dalam gerakan tersebut adalah kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik.
Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku
kepentingan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi,
kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan. Pelibatan orang tua peserta
didik dan masyarakat juga menjadi komponen penting dalam GLS.
Tindakan lainnya sehubungan
dengan tradisi membaca di sekolah, Gerakan-gerakan yang ditujukan untuk
meningkatkan minat baca sudah mulai
diterapkan. DUGEM (Dua genep Maca) adalah sebuah pelaksaanaan dari program
literasi sekolah yang sudah mulai memberikan efek positip terhadap minat baca
siswa di sekolah. Sebuah kegiatan yang beawal dari pemaksaan ini, dharapkan
selanjutnya menjadi budaya positif dikalangan siswa khususnya siswa SMP 26.
KENDALA DAN GAYA HIDUP REMAJA
Masyarakat Indonesia, yang
masih belum lama mengenal budaya membaca atau budaya baca-tulis atau tradisi
literasi, yaitu sekitar abad ke-8 dengan datangnya kebudayaan Hindu, Budha,
kemudian Islam, serta pada pertengahan abad ke-19 saat pemerintah kolonial
Belanda mendirikan sekolah. Tetapi belum lama masyarakat mengenal baca-tulis,
pada awal abad 20-an, teknologi informasi menerjang masuk. Radio, televisi,
internet dan system audio visual lainnya jauh lebih menarik dibandingkan dengan
buku tulisan dalam buku. Ditambah pula oleh belum diterimanya konsep pendidikan
di dalam masyarakat. Perkembangan peradaban umumnya melalui 3 tahapan
kebudayaan, yaitu, budaya lisan, budaya baca-tulis dan audio-visual. Di
Indonesia, tahapan kedua belum terjalani, tetapi langsung melompat ke budaya
ketiga, sehingga perkembangan buadayanya menjadi tidak sempurna. Tidak hanya
terjadi di Indonesia, tetapi juga di Malaysia. Pengamat social di sana
menyatakan bahwa pelajar yang memiliki uang lebih, atau bahkan memperoleh
beasiswa, lebih senang membeli telepon selular daripada buku untuk meningkatkan
prestasi sekolahnya. Sementara itu, dalam hubungannya dengan sekolah, system
pengajaran yang diterapkan belum pernah bisa menjadikan kegiatan baca-tulis
sebagai kebiasaan atau tradisi dalam kehidupan.
Berikut
adalah kendala yang menghambat berkembangnya budaya baca pada anak sekolah di
tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas :
- Metode pengajaran.
Berdasarkan
pengamatan, proses belajar-mengajar masih dilakukan secara lisan: guru
menjelaskan dan murid mendengarkan. Mereka juga diajarkan dan menjadi terbiasa
bahwa jika murid menjawab dengan jawaban yang berbeda dari yang diajarkan oleh
guru, jawaban tersebut salah. Selain itu, masalah dalam ujian yang diberikan
tidak jauh dengan apa yang disampaikan oleh guru di kelas Dengan demikian,
mereka akan berpikir untuk apa membaca buku jika tidak ada manfaatnya untuk
memperoleh nilai A?
Apresiasi sastra sangat
rendah. Menurut survei pribadi Taufik Ismail tahun 1997 yang dilakukan di 13
negara (Jagat Bahasa Nasional, 2003), kurikulum mewajibkan murid membaca 32
judul buku sastra, bahkan jauh sebelumnya, di SMU Jepang tahun 1969-1972, wajib
membaca 15 judul buku sastra dan karya sastra asing terjemahan.
Di Jepang, di sekolah-sekolah
menengah dicanangkan program “Membaca wajib pagi 10 menit” sebelum memulai
pelajaran. Pada awalnya, pelajar-pelajar itu membencinya, tetapi ternyata
setelah 3 tahun program berjalan, terdapat peningkatan peminjaman buku
perpustakaan sekolah sebesar 10 kali lipat.
- Metode pemberian pujian dan hukuman.
Pada
saat murid berbuat baik, menaati peraturan dan displin, pujian dari guru jarang
dilontarkan, tetapi ketika murid membuat kesalahan atau melanggar peraturan,
hukuman akan segera dirasakan. Hukuman tersebut umumnya dikenakan secara fisik,
misalnya menyapu ruangan kelas, disetrap berdiri di depan kelas, atau menulis
kalimat satu halaman penuh. Jenis hukuman tersebut
jelas tidak bermanfaat.
3.
Perpustakaan yang kurang
memadai
Kondisi yang tidak terelakkan,
seperti kurangnya dana, tidak adanya tenaga penegelola khusus, kurangnya
kerjasama dengan pihak luar, menjadikan kualitas dan kuantitas jasa yang
diberikan oleh perpustakaan sekolah sangat rendah. Jumlah, ragam dan mutu
koleksi miskin, dan pertambahan koleksi per tahunnya sangat rendah. Jenis layanan yang diberikan hanya
sirkulasi dengan jam buka terbatas. Hal ini disebabkan oleh tenaga pengelola
yang biasanya dirangkap oleh tenaga tata usaha atau guru. Masalah tersebut
tidak hanya terjadi di wilayah DKI Jakarta, tetapi seluruh Indonesia (Darmono,
2001).
4. Gaya
hidup remaja
Gaya
hidup remaja saat ini menganut gaya hidup bebas. Umumnya mereka mulai mencoba
pada saat duduk di sekolah menengah pertama. Mulai dari yang hura-hura seperti
mengadakan ‘pensi’ (pekan seni) dengna mengundang grup band terkenal,
jalan-jalan ke mal, kafe, sampai mencoba rokok, obat terlarang, merupakan hal
yang lazim ditemui pada remaja. Memang tidak semua remaja seperti itu, tetapi
pada umumnya, pulang sekolah, mereka selalu berkumpul bersama geng
masing-masing. Percakapan yang dilontarkan adalah tema-tema ringan seputar
kehidupan sehari-hari. Gaya hidup di mana serba instan, enak, dan semua
tersedia, selain tercermin dalam majalah-majalah remaja, fenomena tersebut
terlihat jelas di lingkungan sekolah, di keramaian, baik di kota maupun di
desa. Budaya lisan sangat mencolok.
MEMBANGUN TRADISI MEMBACA
Munculnya minat baca seseorang
dipicu oleh berbagai factor, sesuai karakter dan kondisi yang bersangkutan.
Secara umum, dapat disebutkan di sini bahwa factor-faktor tersebut adalah: rasa
ingin tahu yang tinggi atas fakta, teori, prinsip, pengetahuan, dan informasi.
Faktor kedua adalah keadaan lingkungan fisik yang memadai, misalnya adanya bahan
bacaan yang menarik, berkualitas dan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka,
selain itu factor lingkungan social juga memiliki peran yang besar, misalnya
linkunganyang kondusif, seperti keluarga yang sejahtera, tenang dan memberi
teladan yang baik, dapat memicu seseorang untuk memanfaatkan waktunya bersama
buku. Berikutnya, factor keingintahuan akan informasi dan prinsip bahwa membaca
merupakan kebutuhan rohani, merupakan pemicu yang tidak kalah penting (Sutarno,
2003).
Meskipun sekolah merupakan
tempat mencari ilmu, baik melalui lisan maupun tulisan, belum tentu murid
mencarinya di dalam buku, atau melakukan kegiatan membaca untuk menimba ilmu.
Kebiasaan ‘guru menjelaskan – murid mendengar’ sudah lama menjadi system dalam
proses belajar-mengajar di Indonesia. Tradisi tersebut harus dihilangkan dan
tradisi baca-tulis yang dikutip dari Rahardjo perlu dikembangkan. Tradisi yang dimaksud adalah :
- Menciptakan suasana
a.
Membuat komitmen antara guru
dan pustakawan. Kedua pendidik ini sangat penting dalam memberi teladan dan
menumbuhkan rasa cinta terhadap buku. Komitmen sebaiknya juga membantu dan
mengajarkan kepada murid bagaimana memahami bacaan.
b.
Membuat program khusus yang
terintegrasi. Murid akan berfikir bahwa kegiatan baca-tulis penting jika
sekolah membuatnya menjadi program khusus. Program yang dimaksud adalah :
1)
mendirikan museum sekolah
2) membuat surat kabar/majalah/majalah
dinding/kliping
3)
membentuk klub pecinta buku
4)
membuka toko buku/koperasi
sekolah
5)
memberikan ceramah/bimbingan
pemakai secara rutin, dsb.
c. Kunjungan pengarang/illustrator : diskusi,
bedah buku, pelajaran teknik menulis, dsb.
- Membuat perpustakaan sekolah
a.
Koleksi. Koleksi di
perpustakaan sekolah sebaiknya sesuai dengan jenis dan kebutuhan sekolah,
tertata rapi, terawat dan mudah ditemukan.
b.
Pustakawan. Pustakawan
profesional sebaiknya menjaga komitmen dalam pekerjaannya, yaitu memberi
teladan kepada anak didik, mengembangkan pengetahuan mengenai perpustakaan dan
mempelajari metode pengajaran, kurikulum sekolah, sekaligus mempelajari
perilaku manusia.
c.
Sarana dan program
perpustakaan. Perabotan yang nyaman,perlengkapan memadai, jam buka dan
kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa akan menciptakan suasana
yang menyenangkan.
- Membaca bersama dan berbagi pengalaman
Kegiatan membaca yang kita
kenal umumnya adalah membaca dengan diam. Bagi sebagian orang, kegiatan ini
terasa berat dan membosankan. Agar menarik, kegiatan tersebut dapat dilakukan
dengan cara-cara lain, seperti :
- membaca bergiliran
- mengadakan acara jam bercerita
- mengadakan diskusi buku mengenai ceritanya, pengarang, ilustrasi, pengalaman individu yang serupa, dll.
- Melakukan aktivitas
Guru atau pustakawan dapat
mengembangkan kegiatan membaca melalui berbagai aktivitas, seperti :
- membuat proyek bacaan (mendata buku seperti pekerjaan yang dilakukan pustakawan)
- membaca secara kreatif dengan menggambar, menjahit, membuat pembatas buku, boneka, topeng, kolase, bendera, film, jaket buku, kartu ucapan, penahan buku, brosur, iklan, kartun, puisi, lagu, pantomim, drama, teka-teki, permainan, dsb.
- Membuat karangan, membuat komentar atau ringkasan, diari, dll.
- Belajar melalui gambar/barang, kunjungan, kliping, musik, teka-teki, atau mengintegrasikan pelajaran-pelajaran.
- Mengadakan pertunjukan drama, panggung boneka, dll.
- Mengadakan kunjungan ke toko buku, penerbitan, percetakan, perpustakaan lain, dsb.
- Mengkampanyekan buku-buku terbaik.
- Mengadakan tukar menukar buku dengan perpustakaan, atau sekolah lain.
- Mengadakan bazaar, pameran, atau lomba yang berkaitan dengan buku.
Dengan membangun suasana yang menyenangkan dan
melakukan aktivitas bersama dalam kegiatan baca-tulis, siswa akan tertarik
dengan sendirinya dan tanpa paksaan mereka akan mengubah gaya hidup
masing-masing menjadi gaya hidup yang berakar pada tradisi baca-tulis.
PENUTUP
Jika masyarakat belum memahami
kepentingan kemahiran membaca dan menulis bagi kehidupan setiap individu, semua
gerakan meningkatkan budaya baca-tulis akan sia-sia, dan hanya muncul sebagai
sebuah utopia. Oleh karena itu, langkah pertama yang sangat penting dilakukan
adalah menumbuhkan kesadaran pentingnya kegiatan baca-tulis, setelah itu, upaya
berikutnya akan jauh lebih mudah.
Dengan adanya gerakan literasi sekolah, sudah saatnya sekolah memberikan perhatian khusus terhadap gerakan ini, agar budaya tersebut menjadi benar-benar terlaksana.
DAFTAR BACAAN
Ariadinata, Joni. 2002. “Yogyakarta dan barometer
cerita pendek Indonesia”, dalam
Harian Kedaulatan Rakyat,
edisi Minggu, 14 Juli.
“Budaya baca.” Kompas, 6 Juni 2000
Bunanta, Murti. 2004. Buku,
mendongeng dan minat membaca. Jakarta: Pustaka Tangga.
Darmono. 2000.
Harras, Kholid A. 2003. Membaca dan tradisi
pendidikan kita. Bandung: Unit Pers
Mahasiswa, Isola Pos Online.
Kleden-Probonegoro, Ninuk. 1998. “Pengalihan
wacana: lisan ke tulisan dan teks.”
Dalam Metodologi kajian tradisi lisan. Editor,
Pudentia MPSS. Hal. 103-138.
Makarim, Nono Anwar. 2002. Yang penting dari
yang sepele. Makalah ini dibawakan
pada acara penganugerahan pemenang Lomba Meringkas Buku,
Yayasan Aksara
(tidak dipublikasikan)
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional dan
Koperasi Jurnalis Independen. 2003.
Jagat bahasa nasional:
pandangan tokoh tentang bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan KOJI.
Rahardjo, Arlinah Imam. 19?. Mengembangkan
kegemaran membaca melalui promosi
perpustakaan. Layanan Informasi UK Petra.
“Sekitar 80% sekolah tak punya perpustakaan:
berpengaruh negatif pada minat baca.” Dalam Media Indonesia, 31 Agustus
2000.
Soebadio, Haryati. 1993. “Masalah pengembangan
budaya baca-tulis di Indonesia”.
Dalam Majalah Ikatan
Pustakawan Indonesia, Vol. 15, Nomor 2, p. 3-26.
Sutarno, NS. 2003. Perpustakaan
dan masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar